Investree Hadapi Gagal Bayar 16 Persen dan TKB90 Rendah. Sejarah mencatat bahwa salah satu pekerjaan tertua adalah prostitusi, namun dalam dunia bisnis, gelar ini mungkin dapat diraih oleh makelar. Namun, dengan adanya teknologi, makelar modern seperti yang ada dalam platform fintech lending dapat melampaui batasan tradisional, bahkan memiliki potensi untuk bersaing dengan perbankan. Bagaimana hal ini dapat terjadi?
Sobat Cox Lovers, melalui inovasi dan pemanfaatan teknologi canggih, fintech lending membuka akses bagi UMKM dan investor dengan lebih cepat dan efisien, mengatasi masalah yang dihadapi sektor perbankan tradisional.
Fenomena Fintech Lending
Dalam beberapa tahun terakhir, fintech lending memberikan dampak yang signifikan pada ekonomi Indonesia. Menurut OJK, perputaran dana di sektor ini telah mencapai 3/4 kuadriliun rupiah sejak awal kemunculannya. Salah satu fitur utama fintech lending adalah peer-to-peer (P2P) lending, sebuah platform yang memungkinkan individu atau usaha kecil untuk memperoleh pinjaman secara langsung dari para investor.
Proses ini mengurangi kebutuhan akan perantara seperti bank, menjadikan P2P lending lebih fleksibel dan cepat dalam menawarkan solusi pendanaan. Dengan pertumbuhan pesat ekonomi digital, semakin banyak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang memanfaatkan layanan ini untuk memperluas usaha mereka. Platform ini juga menarik perhatian masyarakat luas yang ingin berinvestasi dengan imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan produk investasi konvensional.
Di antara banyak pemain P2P lending, beberapa platform telah menarik perhatian, salah satunya adalah Investree. Dimulai dari ide sederhana sebagai jembatan antara pengusaha (borrower) dan investor (lender), Investree berkembang menjadi salah satu nama signifikan di industri ini. Berdiri sejak tahun 2015, platform ini beroperasi dengan izin OJK dan telah menyalurkan pinjaman sebesar 13,74 triliun rupiah kepada 90. 000 borrower. Namun, seiring berjalannya waktu, kisah sukses ini mulai ternoda oleh sejumlah permasalahan.
Tantangan dalam Bisnis P2P Lending
Investree, seperti platform P2P lending lainnya, memperoleh keuntungan dari beberapa sumber, seperti biaya layanan, bunga pinjaman, denda keterlambatan, dan potongan administrasi. Meskipun terlihat menjanjikan, model bisnis ini menghadapi tantangan serius.
1. Tingkat Gagal Bayar (TKB90) yang Rendah
Pada Februari yang lalu, tingkat TKB90 Investree hanya berada pada angka 83,56%, yang berarti sekitar 16% pinjaman tidak dilunasi dalam jangka waktu 90 hari. Hal ini menimbulkan keraguan mengenai kemampuan platform dalam mempertahankan kepercayaan investor. TKB90 adalah indikator utama yang menunjukkan stabilitas keuangan suatu platform P2P lending. Semakin rendah nilainya, semakin besar risiko yang dihadapi investor, sehingga dapat menurunkan minat mereka untuk berinvestasi.
Tingkat gagal bayar ini juga berfungsi sebagai indikator kuatnya evaluasi awal terhadap borrower. Banyak borrower yang kemungkinan tidak memiliki kelayakan kredit yang memadai, sehingga mengarah pada ketidakmampuan mereka untuk melunasi pinjaman tepat pada waktunya.
2. Pelanggaran Kontrak
Di situs resmi Investree, platform ini menjanjikan pengembalian modal sebesar 75-90% melalui asuransi jika terjadi gagal bayar. Namun, kenyataannya tidak selalu sejalan dengan janji tersebut. Banyak investor melaporkan bahwa dana mereka tidak kunjung kembali meskipun borrower gagal melunasi pinjaman. Kasus ini bahkan menjadi perhatian di media sosial, memicu gelombang kritik terhadap transparansi dan integritas perusahaan.
Pelanggaran kontrak seperti ini tidak hanya merugikan reputasi perusahaan, tetapi juga mengikis kepercayaan investor terhadap industri P2P lending secara keseluruhan. Masalah ini menciptakan efek domino, di mana penurunan kepercayaan publik dapat menyebabkan stagnasi bahkan kemunduran dalam perkembangan sektor fintech lending.
3. Masalah Internal Perusahaan
Masalah gagal bayar juga berkaitan dengan isu operasional, termasuk keterlambatan dalam pembayaran gaji pegawai. Sejak awal tahun, pegawai Investree telah mengeluhkan gaji yang tertunda selama beberapa bulan. Hal ini menunjukkan adanya tantangan serius dalam manajemen keuangan internal.
Ketidakmampuan perusahaan dalam menjaga kesejahteraan pegawai memperburuk citra mereka di mata publik. Di samping itu, kondisi ini dapat memengaruhi produktivitas tim, yang pada akhirnya menghambat layanan kepada borrower dan lender.
Mengapa Risiko Tinggi?
P2P lending memberikan solusi bagi UMKM yang menghadapi kesulitan mendapatkan pinjaman dari bank. Namun, fleksibilitas ini bisa menjadi pedang bermata dua. Kurasi yang tidak seketat bank meningkatkan risiko. Borrower yang tidak profesional sering kali menyalahgunakan dana pinjaman, misalnya untuk melunasi utang lama atau membeli barang mewah, daripada mengembangkan bisnis.
Platform seperti Investree sering kali menggunakan algoritma untuk menilai kelayakan borrower. Meskipun teknologi ini mempercepat proses analisis, algoritma tidak selalu dapat mendeteksi aspek subjektif yang penting, seperti kemampuan manajerial atau perilaku borrower.
Di sisi lain, banyak investor yang tergoda oleh tawaran keuntungan cepat tanpa memahami risiko besar yang ada. Sebagian besar investor di sektor ini adalah individu yang tidak memiliki pengalaman investasi sebelumnya. Kurangnya edukasi dan pemahaman tentang risiko membuat mereka rentan terjerat dalam situasi yang merugikan.
Dampak pada Kepercayaan Publik
Kepercayaan merupakan landasan utama dalam industri P2P lending. Ketika sebuah platform gagal memenuhi janji kepada investor, dampaknya tidak hanya pada reputasi perusahaan, tetapi juga pada keseluruhan industri fintech lending. Hal ini menciptakan tantangan besar bagi regulator untuk memastikan perlindungan untuk semua pihak yang terlibat.
Dalam kasus Investree, masalah gagal bayar yang meluas menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas pengawasan oleh OJK. Meskipun OJK telah mengeluarkan regulasi ketat untuk mengatur operasional platform P2P lending, kasus seperti ini menunjukkan bahwa regulasi saja tidak cukup tanpa penerapan yang konsisten dan pengawasan yang berkelanjutan.
Potensi Besar di Sektor UMKM
Meskipun demikian, P2P lending tetap memiliki potensi besar dalam mendukung perekonomian Indonesia, terutama sektor UMKM. Berdasarkan data OJK, hingga Januari lalu, outstanding pinjaman di sektor P2P lending mencapai 20,3 triliun rupiah, di mana 33% di antaranya disalurkan untuk mendukung UMKM.
Platform P2P lending memberikan akses kepada pelaku UMKM yang sebelumnya kesulitan mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan konvensional. Dengan proses yang lebih cepat dan persyaratan yang lebih fleksibel, UMKM dapat menggunakan dana yang diperoleh untuk ekspansi, pengadaan bahan baku, atau peningkatan kapasitas produksi.
Namun, potensi ini hanya dapat terwujud jika pelaku industri mampu menerapkan sistem manajemen risiko yang baik, meningkatkan edukasi kepada investor, serta memperketat evaluasi terhadap borrower. Hal-hal ini yang akan menjamin keberlanjutan bisnis P2P lending di masa depan.
Jadi, sobat Cox Lover, perjalanan bisnis P2P lending memang dipenuhi oleh risiko dan peluang. Namun, dengan strategi yang tepat dan kolaborasi dari berbagai pihak, sektor ini tetap dapat menjadi solusi yang menjanjikan untuk perekonomian kita. Mari kita terus belajar, berinovasi, dan bersikap bijaksana dalam mengambil keputusan.